Beranda | Artikel
Selayang Pandang Serikat Dagang Dalam Islam
Selasa, 1 April 2014

Pendahuluan

Alhamdulillah, salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.

Saudaraku, mungkin saat ini Anda memiliki segudang keahlian dan pengalaman. Akan tetapi, hingga saat ini Anda masih juga belum mampu mengoptimalkan potensi diri Anda. Kondisi ini menyebabkan Anda hanya bisa menikmati sebagian kecil dari potensi Anda. Mungkin pada suatu hari, Anda pernah berpikir, “Andai aku memiliki cukup modal, aku bisa lebih banyak menikmati hasil tetesan peluhku.”

Tidak perlu berkecil hati, Saudaraku. Banyak pintu yang dapat Anda tembus guna merubah garis hidup Anda. Di antaranya ialah dengan berserikat dengan sebagian dari saudara-saudara Anda yang senasib dengan diri Anda. Dengan memilih opsi ini, pintu sukses semakin terbuka lebar di hadapan Anda, karena semakin besar unit usaha yang Anda rintis bersama saudara Anda, maka tetesan peluh Anda akan semakin bernilai. Tidakkah Anda mendambakan yang demikian, Saudaraku?

Melalui tulisan sederhana ini, saya berkeinginan untuk memberikan gambaran singkat tentang seluk-beluk hukum serikat dagang yang dalam syariat Islam. Harapan saya, langkah Anda dalam merintis sukses di dunia usaha akan semakin mantap dan selaras dengan syariat Allah Ta’ala.

Hukum Berserikat dalam Perdagangan

Ibnu Qudamah al-Hambali menyatakan, “Secara garis besar, ulama telah bersepakat bahwa hukum serikat dagang adalah boleh. Hanya saja, mereka berselisih pendapat pada sebagian perinciannya.” (Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 7/109)

Berikut ini adalah sebagian dalil yang mendasari kesepakatan ulama di atas:

“Abu Minhal mengisahkan bahwa al-Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam adalah dua orang yang saling berserikat. Pada suatu hari, keduanya membeli sejumlah perak. Sebagian pembayaran dilakukan dengan tunai dan sisanya terutang. Selanjutnya, perihal pembelian ini terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau segera memerintahkan keduanya agar melanjutkan pembelian yang pembayarannya tunai, dan membatalkan pembelian yang pembayarannya terutang.” (Hr. Bukhari)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah berfirman, ‘Aku senantiasa menyertai dua orang yang berserikat, selama tidak ada dari keduanya yang mengkhianati sahabatnya. Bila ada dari mereka yang berbuat khianat, maka Aku meninggalkan mereka berdua.`” (Hr. Abu Daud, ad-Daraquthni, dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits yang dha’if)

Dengan Siapa Anda Berserikat Dagang?

Setelah mengetahui hukum serikat dagang dalam Islam, mungkin pertanyaan pertama yang terbetik dalam pikiran Anda adalah, “Dengan siapa saya harus berserikat dagang?”

Terlebih-lebih di zaman ini, betapa sulitnya mendapatkan orang yang benar-benar layak untuk menerima kepercayaan sebagai sekutu Anda dalam berniaga. Atau mungkinkah Anda rela berspekulasi dan bersekutu dengan siapa saja, tanpa peduli dengan tingkat kredibilitasnya? Saya yakin Anda pasti bersikap selektif dan berusaha untuk memilih partner yang benar-benar bagus dan banyak memiliki kelebihan.

Akan tetapi, pernahkah Anda berpikir bahwa di antara kriteria seorang partner yang baik ialah tingkat kepatuhannya terhadap berbagai hukum syariat?

Mengapa demikian? Karena setiap partner niaga bertindak bukan hanya atas nama pribadinya, namun mewakili seluruh pemilik saham perusahaan. Dengan demikian, setiap pemilik saham bertanggung jawab atas setiap keputusan dan perbuatan yang dilakukan oleh perusahaan.

Penjelasan ini sebagai wujud nyata dari asas perserikatan dagang dalam islam, yaitu  al-wakalah (perwakilan) dan amanah. Masing-masing pemegang saham berperan mewakili dan memangku amanah (kepercayaan) dari pemegang saham lainnya.

Tidak heran bila para ulama menganjurkan Anda untuk tidak berserikat dagang dengan orang yang berseberangan agama dengan Anda.

Imran bin Abi Atha` bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Sesungguhnya ada seorang pedagang kambing, dia bersekutu dengan seorang Yahudi dan seorang Nasrani.” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Janganlah engkau bersekutu dengan seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Aku pun kembali bertanya, “Mengapa?” Ibnu ‘Abbas kembali menjawab, “Karena mereka terbiasa bertransaksi riba, dan riba tidak halal.” (Hr. Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi)

Dari pernyataan Ibnu ‘Abbas ini dapat dipahami bahwa boleh bersekutu dengan orang Yahudi atau Nasrani selama mereka tidak menangani langsung bisnis di lapangan, atau selama mereka berkomitmen untuk tidak melanggar hukum syariat. Karenanya, murid-murid Ibnu ‘Abbas, di antaranya ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid menyatakan, “Bersekutu dengan seorang Yahudi dan Nasrani itu dimakruhkan, kecuali bila yang menjalankan perniagaan di lapangan adalah partner yang beragama Islam.” (Hr. Ibnu Abi Syaibah)

Penjelasan ini juga berdasarkan pada praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mempercayakan pengelolaan ladang milik umat Islam di negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi setempat, dan beliau memberikan persyaratan kepada mereka, “Umat Islam berwewenang penuh untuk memutuskan hubungan kerjasama ini kapan pun mereka menghendakinya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Modal Perserikatan

Para ulama telah menyepakati bahwa modal perserikatan dapat diwujudkan dalam bentuk uang yang berlaku untuk alat transaksi. Hanya saja, mereka berselisih pendapat: apakah harta kekayaan selain uang dapat pula dijadikan sebagai modal dalam perserikatan?

Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ialah pendapat yang membolehkan harta kekayaan selain uang sebagai modal perserikatan. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa alasan berikut:

  1. Hukum asal dalam setiap urusan duniawi, termasuk perserikatan dagang, adalah boleh.
  2. Anologi/qiyas dengan akad musaqah (penggarapan ladang), karena berbagai hukum yang berlaku pada akad musaqah berlaku pula pada akad serikat dagang.
  3. Tujuan serikat dagang ialah mencari keuntungan, sedangkan keuntungan dapat diperoleh dengan pengelolaan barang, sebagaimana halnya dengan mata uang.

Hanya saja, bila modal serikat dagang berbentuk barang, perlu dicatatkan bahwa yang dihitung sebagai modal ialah harga jual barang tersebut pada hari penandatanganan akad serikat dagang. Hal ini bertujuan untuk menghindari perselisihan tentang kadar kepemilikan masing-masing sekutu terhadap badan usaha mereka. (Baca: Nihayatul Mathlab oleh al-Juwaini: 7/23; al-Mughni oleh Ibnu Qudamah: 7/124)

Kejelasan dalam Modal Usaha

Di antara ketentuan penting yang sepantasnya Anda indahkan pada awal pembentukan serikat dagang ialah kejelasan modal masing-masing sekutu. Bila modal berupa uang, maka nominalnya jelas, dan bila berupa barang atau hak atas kekayaan intelektual (HKI), maka nilai jual barang atau hak tersebut disepakati pada awal pendirian badan usaha. Selanjutnya, semuanya dituliskan dengan cara-cara yang benar, sehingga memiliki kekuatan hukum.

Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Karena biasanya, pada awal perserikatan, masing-masing pihak memiliki toleransi tinggi. Akan tetapi, bersama berjalannya perserikatan, terlebih-lebih setelah menjadi besar, toleransi telah terkikis, sedangkan ambisi untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin semakin berkobar.

وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ
“Dan sesungguhnya pada kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, dan amat sedikitlah mereka ini.” (Qs. Shad: 24)

Saham Kosong

Di antara hal yang biasa terjadi di berbagai perusahaan ialah adanya pemberian saham kosong kepada beberapa pihak yang dianggap atau diharapkan berjasa pada perusahan. Para penerima saham kosong ini berhak mendapatkan bagian dari keuntungan sebesar persentase saham tersebut. Namun, saham ini memiliki berbagai perbedaan dari saham biasa. Berikut ini beberapa perbedaan tersebut:

  1. Saham kosong tidak memiliki nilai nominal yang tertulis pada lembar saham, sehingga haknya hanya sebatas mendapatkan bagian dari keuntungan (dividen).
  2. Pemegang saham kosong tidak dihitung dari anggota pemegang saham yang berhak mengahadiri RUPS (rapat umum pemegang saham), dan juga tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam kebijaksanaan dan arah perusahaan.
  3. Saham kosong bisa dihapuskan, baik secara keseluruhan atau sebagian saja.

Disebabkan oleh karakter saham kosong yang demikian ini, maka kebanyakan ulama kontemporer mengharamkan saham kosong, dengan alasan sebagai berikut:

Alasan pertama.
Saham kosong, sejatinya, adalah salah satu bentuk jual-beli jasa, sehingga nominal nilai jualnya haruslah diketahui dan tidak dalam hitungan persentase dari keuntungan yang tidak menentu jumlahnya. Dengan demikian, saham kosong ini tercakup oleh keumuman hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung gharar (unsur ketidakjelasan).” (Hr. Muslim)

Alasan kedua. Saham kosong sering kali membahayakan masa depan perusahaan dan merugikan para pemegang saham.

Alasan ketiga. Biasanya, saham kosong adalah pintu lebar buat terjadinya praktik manipulasi, suap, dan tindakan-tindakan tercela lainnya. (Suq al-Auraq al-Maliyah, oleh Dr. Khursyid Asyraf Iqbal, hlm. 320–321)

Ruang Gerak Perusahaan

Tidak diragukan bahwa ruang gerak dan unit usaha setiap perusahaan yang dibangun oleh seorang muslim atau dibangun di negeri Islam dibatasi oleh hukum-hukum Allah Ta’ala. Karenanya, tidak dibenarkan bagi siapa pun untuk menjalankan suatu unit usaha yang memproduksi atau memasarkan barang atau jasa yang diharamkan dalam Islam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggariskan hal ini dengan bersabda, “Sesungguhnya, bila Allah mengharamkan suatu hal, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (Hr. Ahmad, Abu Daud, dan ad-Daraquthni)

Asas Hubungan antara Pemilik Saham

Mengetahui asas yang mendasari setiap hubungan yang Anda jalin menjadikan Anda memahami hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terkait. Karenanya, sejak dahulu kala, para ulama ahli fikih memberikan perhatian khusus tentang hal ini.

Ibnu Qudamah berkata, “Serikat dagang biasanya didasari oleh perwakilan dan amanah, karena masing-masing sekutu, mempercayakan pengelolaan modalnya kepada partnernya dan pada waktu yang sama ia mengizinkannya partnernya untuk mewakili dirinya.” (Al-Mughni: 7/128; baca pula: Nihayatul Mathlab: 7/24 dan Bidayatul Mujtahid: 2/256)

Bila demikian adanya, maka masing-masing sekutu berkewajiban untuk berusaha mendatangkan keuntungan sebesar mungkin. Karenanya, as-Suyuthi menjelaskan bahwa setiap orang yang bertindak untuk orang lain wajib melakukan yang terbaik bagi pihak yang memberinya kepercayaan. (Al-Asybah wa an-Nazhair: 49)

Di antara aplikasi nyata asas ini, masing-masing sekutu tidak dibenarkan untuk membelanjakan harta perusahaan kecuali pada pos-pos yang mendatangkan keuntungan untuk perusahaan. (Bidayatul Mujtahid: 2/256 dan Raudhatuth Thalibin: 3/515)

Karakter Akad Serikat Dagang

Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa serikat dagang adalah salah satu akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, masing-masing sekutu berhak menghentikan perserikatan kapan pun ia suka, asalkan tidak menimbulkan kerugian pada partnernya.
Sebagaimana akad serikat menjadi terhenti bila salah satu dari sekutu meninggal dunia, kecuali bila ahli warisnya menghendaki agar perserikatan dilanjutkan dan mereka menunjuk pengganti sekutu yang meninggal tersebut. (Baca: Al-Mughni: 7/131, Raudhatuth Thalibin: 3/515-516, dan Bidayatul Mujtahid: 2/225–256)

Hak dan Tanggung Jawab Masing-masing Sekutu

Saudaraku, untuk urusan hak, saya yakin Anda pasti mengetahui bahwa hak utama masing-masing sekutu dagang ialah mendapatkan bagian dari keuntungan usaha.
Pendapat yang paling kuat dalam hal pembagian keuntungan ialah pendapat yang membolehkan pembagian keuntungan, sesuai dengan kesepakatan, walaupun tidak berbanding lurus dengan nomimal modal masing-masing.

Alasannya adalah karena keuntungan dalam usaha dihasilkan bukan hanya dari modal, tetapi juga dari kerja dan keahlian seluruh pihak terkait. Bila demikian adanya, bisa saja kerja dan peranan sebagian sekutu lebih dominan dalam mendatangkan keuntungan dibanding lainnya. Sehingga, wajar bila sekutu yang paling berperan dalam mendatangkan keuntungan mendapatkan deviden lebih besar dari yang diberikan kepada lainnya. Pendapat inilah yang dianut dalam Mazhab Hanafi dan Hambali. (Al-Mughni: 7/138 dan Badai’i ash-Shanai’i: 6/62)

Sebagaimana setiap sekutu memiliki hak untuk turut menentukan arah kebijaksanaan dan gerak perusahaan, masing-masing sebesar persentase modal yang ia miliki. Hanya saja, pada praktik perserikatan dagang yang berlaku saat ini, telah dikenal sesuatu yang disebut dengan saham preferen. Pemilik saham ini memiliki bebeberapa kelebihan dibanding pemilik saham biasa, di antaranya:

  1. Mendapatkan deviden yang terjamin, dalam jumlah tetap dan dalam persentase tertentu dari total saham yang dimiliki, tanpa ada bedanya apakah perusahaan merugi atau untung.
  2. Memiliki hak untuk mendapatkan deviden lebih dahulu.
  3. Memiliki hak suara lebih tinggi dibanding pemilik saham biasa.

Untuk mengetahui hukum saham preferen, Anda perlu mengetahui dua hal berikut:

  1. Para ulama telah bersepakat bahwa kerugian harus berbanding sejajar dengan jumlah saham yang dimiliki, karena arti dari kerugian usaha ialah modal usaha menjadi berkurang. Dengan demikian, kewajiban masing-masing sekutu atas segala kerugian dan risiko perusahaan hanyalah sebesar persentase saham yang ia miliki dari total saham perusahaan.
  2. Masing-masing sekutu dagang hanya berhak mendapatkan deviden bila perusahaan benar-benar membukukan keuntungan. Sehingga, bila perusahaan tidak berhasil membukukan keuntungan, mereka tidak berhak mendapatkan deviden.
  3. Besar atau kecilnya deviden yang diperoleh setiap sekutu berbanding lurus dengan besar atau kecilnya keuntungan yang berhasil dibukukan perusahaan. Sehingga, deviden setiap sekutu, bersifat fluktuatif, dan tidak tetap.

Dengan memahami ketiga hal ini, dapat disimpulkan bahwa saham preferen mengandung unsur riba, sehingga hukumnya pun haram.

Penutup

Penjelasan yang saya paparkan di atas hanyalah gambaran singkat tentang berbagai hukum perserikatan dagang dalam syariat Islam. Perlu saya tekankan, pintu terjadinya kesalahan pun senantiasa terbuka. Karenanya, saran dan kritik sangat berharga bagi kita semua. Harapan saya, tulisan ini memotivasi Anda untuk semakin gigih dalam mempelajari syariat agama yang kita cintai ini. Sehingga, dengan semakin bertambahnya umur, Anda semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.

Penulis: Dr. Muhammad Arifin Badri, MA.

Artikel: PengusahaMuslim.Com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/1816-selayang-pandang-serikat-dagang-dalam-islam.html